Pendahuluan
Salah satu isu penting yang muncul di era millennium awal abad 21 ini adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini sudah mulai menjadi bahasan pokok serta wacana perdebatan di dalam setiap kajian dan praksis social, pembangunan dan perubahan social. Proses pembangunan menjadi titik awal perbincangan mengenai isu perempuan dan gender. Intinya adalah suatu gugatan dan protes terhadap ketidakadilan, ketidaksetaraan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan, ketidaksetaraan dan diskriminasi tersebut terjadi hampir di semua ranah kehidupan, baik ranah keluarga/rumah tangga, komunitas/masyarakat, ranah negara, maupun komunitas internasional.
Tulisan kecil ini mencoba memperkenalkan dan mendiskusikan beberapa konsep kunci seputar isu gender, khususnya sebagai konstruksi social budaya, yang akan bisa menjadi alat bantu analisis terhadap berbagai persoalan ketidakadilan diskriminasi tersebut di atas khususnya dalam konteks masyarakat dan gereja local di Maluku. Karena memang para ilmuwan social sejak tahun 1970-an sepakat bahwa konsep gender merupakan alat analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap kaum perempuan tersebut. Sebelum membahas konsep gender sebagai konstruksi social budaya maka terlebih dulu diangkat beberapa pengertian umum tentang gender.
1. Berbagai Pengertian Tentang Gender
1.1. Pengertian Gender secara Leksikal (Menurut Kamus).
Kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris. Menurut kamus, tidak secara jelas dibedakan pengertian seks dan gender. Echols dan Shadily (dalam Sutinah, 2004) misalnya menyebutkan bahwa gender berarti jenis kelamin. Gender adalah perbedaan yang tampak pada laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan perilaku. Kendati demikian, gender sebetulnya berbeda dari seks (jenis kelamin).
1.2. Perbedaan Gender dan Seks
Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Margert Mead (1935) misalnya telah menyatakan bahwa jenis kelamin (seks) adalah biologis dan perilaku gender adalah konstruksi social. Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu. Karenanya, konsep jenis kelamin digunakan untuk membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan unsur biologis dan anatomi tubuh (Tuttle, 1986). Misalnya, laki-laki memiliki jakun, penis, memproduksi sperma, dan ciri-ciri biologis lainnya yang berbeda dari perempuan. Perempuan misalnya memiliki alat reproduksi seperti rahim, dan alat-alat reproduksi lainnya sehingga bisa haid, hamil, melahirkan, menyusui (fungsi reproduksi). Perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara seks, biologis dan anatomis ini adalah bersifat bawaan (sejak lahir), permanen (tetap), tidak dapat dipertukarkan, dan kodrati (ciptaan Tuhan).
Sedangkan gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan pembedaan antara laki-laki dan perempuan secara social. Gender adalah kelompok atribut, perilaku, posisi, perilaku dan peran yang dibentuk secara social budaya kepada laki-laki dan perempuan. Misalnya, perempuan dianggap lemah lembut, emosional, keibuan, dan lain sebagainya. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, perkasa, dan sebagainya. Ternyata, sifat-sifat tersebut bukan kodrati (ciptaan Tuhan), karena tidak bertahan selamanya, dan dapat pula dipertukarkan. Artinya, laki-laki ada yang emosional, lemah lembut, sebaliknya perempuan pun ada juga yang kuat, rasional, dan sebagainya. Berikut ini akan disajikan bagan yang memuat perbedaan antara jenis kelamin (seks) dan gender beserta contohnya (Meneg PP: Panduan Gender dalam Perencanaan Partisipatif, 2002)
Gender juga dipahami sebagai sebuah konsep untuk mengidentifikasikan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi social budaya (non-biologis). Pemahaman dan pembedaan antara konsep jenis kelamin (seks) dan gender seperti tersebut di atas sesungguhnya sangat diperlukan dalam melakukan kajian untuk memahami berbagai persoalan ketidakadilan dan diskriminasi yang menimpa kaum perempuan selama ini. Karena seperti dikatakan oleh Fakih (dalam Sutinah, 2004) bahwa, berbagai ketidakadilan social yang menimpah kaum perempuan tersebut disebabkan karena adanya kaitan erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidakadilan masyarakat secara luas. Dengan kata lain, persoalan sosio-struktural dalam bentuk kebijakan tetapi juga persoalan sosio cultural (budaya) adalah yang paling banyak dianggap sebagai akar persoalan ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Pemahaman atas konsep gender sangat diperlukan dalam melakukan analisis dan kajian gender nantinya.
3. Gender Sebagai Konstruksi Sosial Budaya
Ann Oakley (dalam Sutinah, 2004) mengatakan bahwa gender merupakan alat analisis yang baik untuk memahami persoalan diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum. Ditegaskan bahwa gender adalah pembagian laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara social dan budaya. Dan ternyata, perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang, melalui proses sosialisasi, penguatan, konstruksi social budaya bahkan melalui kekuasaan negara. Sedemikian panjang dan lamanya proses “genderisasi” secara social budaya tersebut sehingga lambat laun perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan sebagai konstruksi social budaya menjadi seolah-olah ketentuan dari Tuhan, atau bersifat kodrati dan biologis yang tidak dapat diubah lagi. Artinya, ada anggapan sebagian besar masyarakat yang namanya kodrat wanita adalah hasil konstruksi social dan budaya atau gender. Gender mempengaruhi keyakinan manusia serta budaya masyarakat tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berpikir dan bertindak sesuai dengan ketentuan social tersebut. Pembedaan yang ditentukan oleh aturan masyarakat dan bukan biologis itu dianggap sebagai ketentuan Tuhan.
Masyarakat sebagai suatu kelompok, menciptakan perilaku pembagian gender untuk menentukan apa yang mereka anggap sebagai suatu keharusan, untuk membedakan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya, mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan dan keindahan rumah tangga, atau urusan domestik seperti mencuci, memasak dan merawat anak acapkali dianggap sebagai kodrat wanita. Padahal peran gender semacam itu adalah hasil konstruksi social budaya dalam masyarakat. Peran-peran gender semacam itu bisa pula dilakukan oleh laki-laki. Oleh karena itu, jenis pekerjaan bisa dipertukarkan dan tidak bersifat universal.
Pertanyaan yang menarik untuk dibahas lebih lanjut adalah: apakah perbedaan jenis kelamin dapat melahirkan perbedaan gender? Persoalan-persoalan apa saja yang dihasilkan dari adanya perbedaan gender?
4. Perbedaan Gender dan Ketidakadilan
Sebenarnya perbedaan gender tidak akan menjadi masalah selama tidak memunculkan ketidakadilan gender. Namun, dalam kenyataan perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan baik bagi laki-laki, tetapi terutama bagi kaum perempuan. Sedangkan ketidakadilan gender adalah suatu system dan struktur dimana laki-laki dan perempuan menjadi korban dari system tersebut. Ada beberapa persoalan yang muncul dari perbedaan gender (Ratih Dewayanti dkk., 2004; Ufi & Pelu, 2005) seperti berikut:
4.1. Gender & Marginalisasi-eksploitasi perempuan
Proses marginalisasi perempuan adalah suatu proses pemiskinan dan peminggiran terhadap satu jenis kelamin tertentu – dalam hal ini perempuan yang disebabkan oleh perbedaan gender. Misalnya proses hubungan social sedemikian rupa sehingga mengakibatkan terputusnya akses kaum perempuan ke sumber-sumber daya vital, mulai dari tingkat rumah tangga hingga negara. Hal ini bisa lahir dari kebijakan, agama, tradisi/budaya, dan sebagainya.
4.2. Gender & Subordinasi
Pendekatan social budaya melihat bahwa persoalan subordinasi perempuan berakar pada konstruksi social budaya yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki. Adanya anggapan dalam masyarakat bahwa perempuan itu emosional, irasional, tidak bisa tampil memimpin /mengambil keputusan, sehingga ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Contohnya, perihal pendidikan dalam keluarga lebih diprioritaskan ke anak lelaki ketimbang anak perempuan.
4.3. Gender & Stereotip
Stereotip adalah pelabelan terhadap pihak tertentu yang selalu berakibat merugikan pihak lain dan menimbulkan ketidakadilan. Misalnya, perempuan bukanlah sumber nafkah utama dalam keluarga sehingga diposisikan hanya sebagai “membantu suami”. Contoh lain, menyangkut masalah “lokalisasi WTS” (“wanita tuna susila”) lebih banyak dilakukan “penghakiman social” terhadap kaum wanitanya, dan jarang dipersoalkan para pengunjung yang umumnya adalah kaum lelaki.
4.4. Gender & Kekerasan
Kekerasan (violence) adalah suatu serangan baik secara fisik, maupun mental-pskologis dan moral terhadap seseorang, yang dihasilkan dari berbagai sumber, termasuk karena perbedaan gender. Ini bisa terjadi karena ketidaksetaraan kekuatan dan kekuasaan dalam masyarakat. Kekerasan yang berbasis gender tersebut mulai dari kekerasan rumah tangga hingga kekerasan negara. Contohnya: perkosaan terhadap perempuan, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga –suami terhadap isteri, penyiksaan organ alat kelamin seperti penyunatan terhadap anak perempuan, dengan alasan untuk mengontrol perempuan, prostitusi dan pelacuran, kekerasan dalam bentuk pornografis, dan sebagainya.
5. Keadilan-Kesetaraan Gender dan Agenda Pembangunan
Memang akar ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender adalah terjadinya perbedaan gender. Pandangan tentang ketidakadilan gender ini memang amat berbeda dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh paradigma yang dianut. Seperti pandangan fungsionalisme di dalam feminisme tentu tidak melihat ketidakadilan gender ini, melainkan melihanya sebagai suatu realitas yang wajar. Sedangkan para pendukung paradigma konflik dalam feminisme tentu menganggap bahwa ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender merupakan realitas yang berakar di dalam dominasi kekuatan/kekuasaan (power) dan kepentingan (interest) dari kaum yang kuat, umumnya adalah laki-laki. Bahwa ideology patriarki merupakan sumber ideology penindasan yang berasal dari system hirarki maskulinistik dimana laki-laki berada diatas perempuan. Sayangnya, ideology patriarki tersebut masih mewarnai teori-teori dan pendekatan-pendekatan modernitas di dalam pembangunan yang pada akhirnya melahirkan kesenjangan social yang amat serius termasuk kesenjangan dan ketidakadilan gender. Inilah yang menjadi alas an mengapa dibangkitkannya isu kesetaraan gender di dalam pembangunan.
5.1. Berbagai kesenjangan gender di dalam pembangunan
Kesenjangan gender di berbagai bidang pembangunan dapat dilihat dari contoh-contoh berikut:
masih rendahnya peluang yang dimiliki perempuan untuk bekerja di sector formal;
rendahnya akses perempuan terhadap sumber daya ekonomi, seperti teknologi, informasi, pasar, kredit, modal kerja;
pembagian kerja yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan dimana perempuan telah terlibat dalam pekerjaan produksi, namun kerja reproduksi di dalam rumpah tetap dianggap sebagai tanggung jawab perempuan (beban ganda);
posisi perempuan di dalam bidang social politik (partisipasi politik) masih rendah dibandingkan dengan laki-laki;
meskipun penghasilan perempuan pekerja memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap penghasilan dan kesejahteraan keluarga, namun perempuan masih dianggap sebagai pencari nafkah tambahan dan pekerja keluarga, dan dianggap tenaga cadangan (sekunder).
Dalam kajian gender, kepentingan perempuan untuk memperbaiki posisi/statusnya dalam masyarakat menjadi semakin terganggu jika kesulitan ekonomi menekan mereka. Karenanya, mengintegrasikan perspektif gender dalam program pembangunan menjadi keharusan dengan alas an obyektif, yaitu perbaikan perekonomian sekaligus alas an subyektif, yaitu demi keadilan ekonomi dan kesetaraan gender. Oleh karenanya, menjadi kewajiban bagi semua pihak, khususnya para pemerintah dan pengambil kebijakan untuk secara sengaja melakukan tindakan khusus dengan mempertimbangkan kondisi spesifik perempuan yang ditujukan untuk memperbaiki status mereka. Akhirnya, memungkinkan perempuan khususnya untuk ikut terlibat dalam pembangunan ekonomi sebagai subyek pembangunan itu sendiri.
5.2. Agenda Pembangunan yang Responsif Gender
Sejak dua decade terakhir ini, tolak ukur keberhasilan pembangunan di suatu negara, dan bahkan daerah, juga dilihat dari aspek keadilan dan kesetaraan gender yaitu: Indeks Pembangunan Gender (IPG) atau Gender-related development index (GDI) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IPG) atau Gender Empowerment Measure (GEM).IPG mengukur pencapaian dalam dimensi yang sama dan menggunakan indicator yang sama dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), tetapi lebih diarahkan untuk mengungkap ketimpangan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan IDG memperlihatkan apakah perempuan dapat mengambil peran aktif dalam kehidupan ekonomi dan politik. IDG lebih memfokuskan pada partisipasi, mengukur ketimpangan gender pada bidang-bidang kunci dalam partisipasi ekonomi dan politik serta pengambilan keputusan. Karena itulah, dua indicator, yaitu IDG dan IPG merupakan bagian yang sangat penting dan tidak dapat dilepaskan dari indeks pembangunan gender. Kalau hasil pengukuran Laporan Pembangunan Manusia, UNDP, tahun 2000, mencatat bahwa Indeks Pembangunan Gender Indonesia (IPG) menempati urutan 109 dari 174 negara yang diukur, dan paling rendah di ASEAN, maka pertanyaan yang relevan untuk kita Masyarakat Katolik Maluku adalah: Bagaimana dengan Kondisi dan Wajah Pembangunan yang Responsif gender di Maluku? Yaitu pembangunan yang responsive terhadap pengalaman, aspirasi, dan permasalahan perempuan dan laki-laki di Maluku?
6. Agenda Pengembangan Masyarakat Katolik Maluku Yang Adil Gender ?
6.1. Data Indikatif
Laporan indeks pembangunan manusia Indonesia dari UNDP tahun 2000 mencatat bahwa Kabupaten Maluku Tenggara /Malra hanya menempati urutan 105 di antara kabupaten-kabupaten se-Indonesia dalam hal peningkatan, partisipasi dan pelibatan perempuan dalam pembangunan (atau yang lebih responsive gender!). Dan Kabupaten Maluku Tenggara juga menempati urutan terendah di Maluku dalam hal yang sama. Apa artinya data sederhana ini bagi diskusi kita ini?
Kalau mayoritas penduduk katolik di Maluku (keuskupan Amboina) berada di Maluku Tenggara, dan mayoritas masyarakat Maluku Tenggara beragama Katolik, maka data tersebut mengindikasikan sesuatu tentang kondisi dan wajah pembangunan gender dari Masyarakat Katolik di Maluku. Dari segi etnik, mayoritas masyarakat katolik maluku adalah suku kei di Maluku Tenggara, dan Tanimbar selatan di Maluku Tenggara Barat (dulunya masih bergabung dengan Maluku Tenggara). Maka agenda pembangunan yang berorientasi gender hendaknya diarahkan kepada dua komunitas etnik ini. Pendekatan pemberdayaan (empowerment approach) kini dipromosikan sebagai strategi yang relatif lebih baik dalam mengimplementasikan pembangunan yang responsive gender ke depan. Bagaimana melakukan agenda rekonstruksi social budaya terhadap gender?
6.2. Transformasi Sosial Budaya Lokal yang adil Gender.
Sudah diketahui bersama bahwa gender sebagai konstruksi social budaya pada dasarnya bercorak dinamis, bisa berubah, relatif dan kontekstual, sesuai dengan kondisi setempat. Dalam kaitan ini, maka adalah tugas kita bersama sebagai warga local untuk segera mencanangkan agenda local guna merekonstruksi perspektif social budaya yang mendukung agenda pembangunan yang responsive gender. Bagaimana hal ini bisa terjadi akan sangat bergantung kepada pemahaman, kesadaran dan kepekaan, serta kemauan bersama untuk melaksanakan perubahan baik tersebut. Beberapa pertanyaan stimulatif buat diskusi kita adalah:
identifikasikanlah sekonkrit mungkin bentuk-bentuk ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender di dalam keluarga/rumah tangga, dalam masyarakat etnik (komunitas kei dan tanimbar misalnya), dan dalam negara baik pengaruh kebijakan nasional maupun pengaruh kebijakan pemimpin politik pemerintahan local.
unsur-unsur sosio-budaya mana saja yang mempengaruhi persepsi tentang gender dalam masyarakat katolik di Maluku?
Sebutkanlah kerugian-kerugian yang dialami akibat dari praktek ketidakadilan gender tersebut!
Adakah usul dan saran tentang perlunya transformasi nilai-nilai dan praktek-praktek social budaya yang mendukung pembangunan gender ke depan?
Penutup
Demikian beberapa pokok pikiran yang meluas dan diperluas seputar topik tentang konstruksi social budaya terhadap gender, atau gender sebagai konstruksi social budaya. Diperlukan komitmen bersama dan gerakan bersama dalam memperjuangkan agenda local mendorong pemberdayaan gender dalam pembangunan masyarakat katolik maluku ke depan. Pelibatan aktif setiap dan semua aktor baik individual maupun kolektif, penguatan, konsolidasi dan pengorganisasian ke dalam, maupun mobilisasi jaringan pergerakan dan perjuangan ke luar akan sangat mempengaruhi bahkan menentukan keberhasilannya ke depan.
REFERENSI
Dewayanti, R., E. Ernawati & Chotim (2004). Marginalisasi & Eksploitasi Perempuan Usaha Mikro di Perdesaan Jawa, Yayasan Akatiga, Bandung.
Meneg Pemberdayaan Perempuan (2002) Panduan Gender Dalam Perencanaan Partisipatif, Jakarta.
Moser, C.O.W. (1993). Gender Planning & Development (Theory, Practice & Training), London: Routledge.
Narwoko, D. & B. Suyanto (ed.) (2004) Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan, Edisi I, Prenada Media, Jakarta.
Sutinah, “Gender & Kajian Tentang Perempuan”, dalam Dwi Narwoko & Bagong Suyanto (ed) 2004. Sosiologi: Teks Pengantar & Terapan, Jakarta: Prenada Media, hal. 313-339.
Tuttle, S. (1986) Encyclopedia of Feminism.
UNDP (2000) Laporan Pembangunan Manusia Indonesia, Jakarta.
Ufi, J.A. & H. Pelu (2005) Peranan Civil Society dalam Perencanaan Pembangunan Partisipatif yang Sensitif Bencana di Maluku Pasca-Konflik”. Makalah. Seminar LDP UNDP-Unpatti-Bappeda Provinsi Maluku, Ambon.