Warning: session_start(): open(/opt/alt/php72/var/lib/php/session/sess_abdfcb016c7cfc39a7ed724b152cf8b3, O_RDWR) failed: Disk quota exceeded (122) in /home/bumiman3/public_html/driyamedia/wp-content/plugins/landing-pages/landing-pages.php on line 24

Warning: session_start(): Failed to read session data: files (path: /opt/alt/php72/var/lib/php/session) in /home/bumiman3/public_html/driyamedia/wp-content/plugins/landing-pages/landing-pages.php on line 24
Dominggus de Jesus, Guru bagi Anak, Murid dan Sesama - Driyamedia
Home / Profil / Fasilitator / Dominggus de Jesus, Guru bagi Anak, Murid dan Sesama

Dominggus de Jesus, Guru bagi Anak, Murid dan Sesama

artikel minggus 01

Minggus,  panggilan Dominggus de Jesus ini sehari-hari bekerja sebagai  guru honorer di SDN Asam Tiga, Kelurahan Naibonat, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Setiap hari ia berjalan kaki menyusur jalan setapak  ke sekolah, menuju ruang kelas 3. Sekolah yang sejak didirikan tahun 2009 hingga kini  masih berupa bangunan darurat. Dari namanya, laki-laki kecil dan kurus ini bisa ditebak bahwa dia berasal dari Timor Timur- sekarang menjadi Negara Timor Leste. Mengapa dia bisa tinggal di Naibonat sudah bukan menjadi rahasia umum. Ia bersama dengan hampir 100 ribu warga Timor Timur waktu tahun 1999, eksodus ke Timor Barat, pasca jajak pendapat. Mereka rela meninggalkan harta benda dan sanak saudara  demi membela Merah Putih berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Pemerintah pun menyediakan barak-barak dan kamp-kamp pengungsian, tersebar di wilayah Kupang, Belu, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Timur, dan Sumba Barat.

Aneka bantuan pernah mengalir deras ke kamp-kamp pengungsian. Pada 2000, misalnya, Pemerintah Provinsi NTT menyalurkan dana sekitar Rp 69 miliar. Pada 2001, dana yang mengalir meningkat enam kali lipat, sekitar Rp 469 miliar. Namun sejak 2002, ketika program pemulangan kembali (repatriasi) berakhir, warga kamp kehilangan statusnya sebagai pengungsi. Mereka otomatis menjadi warga negara Indonesia. Hanya, perubahan status itu tak otomatis mengubah nasib mereka menjadi lebih baik. Bagi orang-orang seperti Minggus, babak baru hidup yang lebih sulit justru baru dimulai. Maklum, seiring dengan pupusnya status pengungsi, keran bantuan mulai ditutup.

Janji-janji pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tanah dan hak politik mereka tak juga kunjung terwujud. Hampir 15 tahun, cap sebagai “pengungsi”, “warga eks Timor Timur”, dan “warga baru” masih melekat pada diri mereka. Berbagai program dan proyek pengembangan masyarakat yang ditujukan bagi mereka tak juga dapat mengangkat hak politik mereka sebagai warga negara tanpa cap-cap itu.

artikel minggus 02

Di tengah keterbatasan itu warga yang tinggal di barak dank amp-kamp pengungsian  tertatih-tatih melakoni hidup pas-pasan, sekadar menyambung hidup dengan bekerja apa saja. Sebagian besar mereka tak memiliki lahan, gubug pun kini sudah reyot. Makan dengan nasi kosong atau bubur demi penghematan beras pun mereka lakoni demi menyambung hidup. Di tengah segala keterbatasan itulah, Minggus bersama dengan keluarga besarnya, yang tinggal di kamp pengungsian di Naobonat  tak berhenti berjuang.n. Dari honor guru 250 rb per bulan ditambah dengan hasil lahan garapan, didayagunakan demi keberlangsungan  hidup dan pendidikan bagi  4 anak kandung dan 1 anak angkatnya. Bersusah payah sang istri mengelola uang yang tidak seberapa itu agar anak tidak putus sekolah, juga untuk biaya kuliah Minggus  di UT Jurusan FKIP untuk mengejar ijazah guna sertifikasi guru.

 

artikel minggus 03

Satu hal yang membuat saya berdecak mengingat keterbatasan yang dia miliki, adalah usaha kerasnya untuk mendirikan sekolah SD Asam Tiga   secara swadaya. Ini dia lakukan mengingat banyak anak di pengungsian tidak sekolah,  karena  jarak yang jauh dari pemukiman dan kapasitas sekolah di SDN Naibonat yang terbatas. Upaya yang dilakukan adalah melakukan pendekatan kepada tuan tanah untuk mendapatkan lahan untuk pendirian sekolah. SDN  ini dibangun sendiri oleh orang tua murid menggunakan bahan-bahan yang ada di daerah setempat, dinding dari bebak (batang gewang), atap dari daun gewang, dan berlantai tanah.

Melihat jerih payah para orang tua murid ini, CIS Timor mendukung pembangunan WC, kamar mandi dan ruang perpustakaan, serta bangku. Namun, ruang perpustakaan itu memang belum difungsikan  dan sementara  digunakan untuk rapat guru. “Dulu kita hanya pakai bangku dan meja dari kayu gewang yang kita buat sendiri. Kalau guru-guru rapat kita duduk saja di bawah pohon”, ungkap Pak Minggus. “Tahun ini, karena ada tambahan murid kelas 1, kita juga akan membangun lagi 1 ruangan baru”. Untuk mendapatkan tenaga guru, dia sendiri berupaya menghubungi Dinas Pendidikan, yang akhirnya didukung 3 orang tenaga guru PNS (satu di antaranya sebagai Kepala Sekolah). Karena tenaga guru yang terbatas, ia bersama dengan orang tua murid mencari 3 guru tambahan dari lingkungan mereka sendiri untuk menjadi guru honorer; dan satu di antaranya dia sendiri.

Dengan keyakinan yang sama, dia pun terus berupaya untuk mendapatkan dukungan dari Dinas Pendidikan dan Pemda untuk dapat meningkatkan kualitas SDN Asam Tiga ini. Bukan hanya dari segi sarana dan prasarana saja yang dia impikan tetapi juga bagaimana agar proses pembelajaran dapat terus ditingkatkan, termasuk kepastian terhadap status 3 guru honorer yang saat ini mengajar. Sayangnya sampai sekarang usaha itu belum juga terwujud. Situasi ini sebenarnya cukup ironi mengingat bahwa Kelurahan Naibonat dekat dengan Oelmasi, ibukota sekaligus pusat perkantoran

Pak Minggus pun masih punya semangat untuk melayani warga dengan menjabat sebagai Ketua RW,. Dia selalu  mendorong sesama mereka untuk terus berusaha memperbaiki penghidupan. Bahkan ketika warga menghadapi persoalan akan ketidakjelasan status lahan pemukiman di resetlement  dia berusaha mencari informasi dan memperjuangkan status lahan itu pada Dinas Sosial, pemilik lahan di kamp pengungsian Walau sampai sekarang usaha itu belum berwujud, dia pantang menyerah “ Hidup Memang Harus Berjuang”. Dia yakin bahwa usaha itu nantinya akan berhasil. Walaupun kini dia tak lagi berharap pada pemerintah: “Masa depan ada di tangan kita sendiri, kita sendiri yang bisa ubah nasib kita!.

[Farida Budi Utami]

About Farida B. Utami

Media Development Specialist, kontributor tetap www.kanalfasilitator.com, konsultan lepas pengembangan media pada beberapa lembaga”

Fatal error: Uncaught wfWAFStorageFileException: Unable to save temporary file for atomic writing. in /home/bumiman3/public_html/wp-content/plugins/wordfence/vendor/wordfence/wf-waf/src/lib/storage/file.php:15 Stack trace: #0 /home/bumiman3/public_html/wp-content/plugins/wordfence/vendor/wordfence/wf-waf/src/lib/storage/file.php(542): wfWAFStorageFile::atomicFilePutContents('/home/bumiman3/...', '<?php exit('Acc...') #1 [internal function]: wfWAFStorageFile->saveConfig() #2 {main} thrown in /home/bumiman3/public_html/wp-content/plugins/wordfence/vendor/wordfence/wf-waf/src/lib/storage/file.php on line 15