Oleh: Dwi Joko Widiyanto.
Tekad pemerintah menjadikan reformasi birokrasi sebagai prioritas pembangunan mungkin hanya akan menjadi slogan kosong. Tekad ini kedengaran galak di atas kertas tapi tidak bergigi ketika diterapkan di lapangan. Bukti paling mutakhir adalah gelombang penangkapan birokrat korup, jual beli jabatan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan politisasi birokrasi yang tidak kunjung berhenti.
Kultur birokrasi yang malas dan korup rupanya sudah menyerupai kanker stadium akut sehingga tak bisa diobati dengan kebijakan reformasi birokrasi jenis apapun. Rupa-rupa kebijakan yang disusun Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan RB) nyaris sia-sia. Penangkapan beberapa pegawai pajak di Kementerian Keuangan baru-baru ini, instansi yang diklaim paling reformis dan sudah mendapatkan remunerasi, adalah tamparan paling keras karena menegasikan program pengembangan zona integritas yang tengah dikampanyekan Kementerian PAN dan RB.
Pendekatan Teknokratis
Peristiwa-peristiwa tersebut menggambarkan bahwa pendekatan teknokratis dengan cara menciptakan sebanyak mungkin kebijakan berisi nilai-nilai birokrasi bersih, profesional dan melayani tidaklah cukup. Birokrasi cenderung akan melakukan perlawanan keras karena nilai-nilai baru itu dianggap mengancam zona nyaman mereka.
Contoh paling nyata adalah RUU Aparatur Sipil Negara (RUU ASN). RUU yang meletakkan dasar-dasar birokrasi modern, bersih, dan profesional ini harus menjalani proses pembahasan yang berlarut-larut karena resistensi sejumlah instansi pemerintah pusat dan daerah. Seandainya RUU ASN berhasil ditetapkan pun tidak ada jaminan bisa berjalan efektif di lapangan, karena Kementerian PAN dan RB tidak punya kaki tangan yang sanggup mengawal pelaksanaan UU hingga ke unit-unit terkecil birokrasi pemerintahan di daerah.
Ada sebuah nasehat bijak yang berbunyi: “mustahil kita memecahkan masalah dengan alam pikiran yang sama pada saat kita menciptakan masalah itu.” No problem can be solved from the same level of consciousness that created it. Nasehat ini mengajarkan bahwa pendekatan teknokratis untuk reformasi birokrasi sebenarnya mengandung kontradiksi dalam dirinya. Penyakit birokrasi yang sedemikian akut memang membutuhkan kerangka hukum yang kuat untuk mengubahnya. Tetapi menciptakan terlalu banyak peraturan hampir sama artinya dengan melakukan birokratisasi proses reformasi birokrasi. Selain mahal dan makan waktu, cara ini nyaris mustahil.
Bersekutu dengan Publik
Hasil akhir reformasi birokrasi adalah meningkatnya kualitas pelayanan publik. Karena itu rupa-rupa peraturan perundang-undangan tentang reformasi birokrasi hanya omong kosong jika tidak membawa perbaikan pelayanan publik yang nyata.
Meski Kementerian PAN dan RB punya kewenangan besar menciptakan kebijakan reformasi birokrasi nasional, secara politik kedudukan kementerian ini tidaklah kuat untuk menyentuh langsung unit pelayanan publik. Sebab birokrasi pada unit-unit yang paling dekat dengan publik berada di daerah yang nota bene merupakan wilayah “kekuasaan” bupati/walikota dan departemen lain. Kementerian PAN dan RB nyaris tidak bisa berbuat banyak ketika aparatur negara di daerah melakukan tindakan indisipliner atau penyalahgunaan wewenang misalnya.
Jalan alternatif untuk menerobos lansekap politik yang tidak menguntungkan ini adalah bersekutu dengan publik, atau Eko Prasojo, Wakil Menteri PAN dan RB menyebutnya sebagai “membangun koalisi besar masyarakat sipil.” Inisiatif kementerian menggandeng Indonesian Corruption Watch untuk membantu mengawasi kemungkinan kebocoran dan praktek jual beli jabatan dalam proses Seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil 2012 adalah permulaan yang baik.
Di luar itu banyak organisasi masyarakat sipil dan pressure group di berbagai daerah yang telah memprakarsai pembentukan forum-forum warga, membangun piagam warga (citizen charter), menyusun standar pelayanan minimum dengan unit-unit pelayanan, dan melakukan advokasi perbaikan pelayanan publik.
Di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat misalnya, ada sebuah inisiatif masyarakat sipil yang mengembangkan community center untuk menagih pelayanan kesehatan ibu dan anak, membuat citizen charter dengan unit-unit layanan kesehatan terdekat, dan lain-lain serupa itu. Karena desakan community center, Puskesmas di kabupaten ini sudah membangun standar pelayanan minimum kesehatan bersama-sama dengan warga setempat. Praktek-praktek baik yang menggambarkan bagaimana seharusnya publik terlibat dalam reformasi birokrasi pelayanan kesehatan seperti ini yang semestinya mendapat dukungan besar dari Kementerian PAN dan RB.
Program dukungan penguatan organisasi masyarakat sipil mungkin memang akan menjadi program yang sepi dan kurang mendapat tempat dalam pemberitaan media massa sehingga tidak menguntungkan dari sisi pencitraan kementerian. Tetapi dalam jangka panjang, dukungan ini akan jauh lebih bermakna. Selain fokus kepada target akhir reformasi birokrasi, dukungan ini sekaligus memampukan masyarakat untuk terlibat dalam perumusan kebijakan pelayanan publik di daerah.
[Dwi Joko Widiyanto]