Warning: session_start(): open(/opt/alt/php72/var/lib/php/session/sess_bf30aabfe769931e242faf881879f0ba, O_RDWR) failed: Disk quota exceeded (122) in /home/bumiman3/public_html/driyamedia/wp-content/plugins/landing-pages/landing-pages.php on line 24

Warning: session_start(): Failed to read session data: files (path: /opt/alt/php72/var/lib/php/session) in /home/bumiman3/public_html/driyamedia/wp-content/plugins/landing-pages/landing-pages.php on line 24
Mencemaskan Booming Fasilitator - Driyamedia
Home / Opini / Mencemaskan Booming Fasilitator

Mencemaskan Booming Fasilitator

Oleh: Dwi Joko Widiyanto.

Sejak sepuluh tahun terakhir dunia pemberdayaan masyarakat di Indonesia memang mengalami booming fasilitator.

Jumlah fasilitator membludak sejak lahirnya rupa-rupa program pengentasan kemiskinan, baik yang diinisiasi organisasi pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat dalam dan luar negeri.

Belum begitu jelas jumlahnya. Tapi ambil contoh Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Program-program bertema poverty alleviation ini merekrut dan melatih fasilitator untuk ditempatkan di ribuan desa dan kelurahan. Itu belum termasuk jumlah fasilitator untuk ribuan program community development berbagai tema yang diprakarsai lembaga swadaya masyarakat di seluruh Indonesia.

Dulu, menjadi fasilitator adalah kerja yang sepi dari pamrih, lebih merupakan panggilan hati. Sekarang, tengoklah iklan lowongan pekerjaan di koran. Sejak tsunami Aceh dan bencana-bencana alam lain yang menyusulnya, fasilitator menjadi sebuah profesi yang banyak dicari dan diminati. Hingga hari ini, banyak lembaga internasional memasang iklan lowongan kerja sebagai fasilitator dengan gaji menggiurkan.

Fasilitator Instan

Booming fasilitator, menjamurnya metode-metode partisipatif dalam kerja pembangunan masyarakat, dan diadopsinya istilah “fasilitator” oleh program-program pemerintah menggantikan istilah “penyuluh” atau “instruktur” tentu saja menggembirakan. Fenomena ini bolehlah dijadikan bukti bahwa kesadaran untuk melibatkan masyarakat secara lebih mendalam dalam setiap program pemerintah mulai tumbuh. Meskipun masih samar-samar, gejala itu menandakan keinginan yang cukup kuat untuk melepaskan diri dari bayang-bayang developmentalism, sebuah paradigma yang pada masa lalu pernah dominan mengangkangi segala aspek pembangunan kemasyarakatan. Bayangkan, di luar tokoh-tokoh masyarakat lokal, kini di hampir setiap desa dan kelurahan di seluruh Indonesia memiliki fasilitator yang siap bekerja menanggulangi kemiskinan.

Tetapi penulis melihat perkembangan itu dengan rasa cemas. Sepanjang pengamatan dan pengalaman, kerja-kerja pendampingan masyarakat membutuhkan lebih dari sekedar kecakapan teknik dan penguasaan metodologi. Kemiskinan adalah soal yang kompleks. Kemiskinan bukan sekedar soal yang berkenaan dengan rendahnya tingkat pendapatan dan konsumsi masyarakat, tetapi juga rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, ketidakberdayaan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan publik (powerlessness), ketidakmampuan menyampaikan aspirasi (voicelessness), dan hal-hal lain yang berkaitan dengan martabat kemanusiaan (human development).

Kompleksitas persoalan yang sedemikian tinggi tersebut, membutuhkan upaya penanganan yang komprehensif, dengan pendekatan terpadu, lintas departemen, perlu didukung oleh political will yang kuat, serta dukungan basis data kemiskinan yang memadai. Pendek kata diperlukan pendekatan yang melihat program lebih luas dari sekedar memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), tetapi juga aspek partisipasi, demokrasi dan hak asasi manusia (Robert Chambers, Poverty and Livelyhoods: Whose Reality Count. Dalam Uner Kirdar dan Leonard Silk (ed). People: From Impoverishment to Empowerment, New York University Press, 1995).

Kompleksitas persoalan itu menyebabkan seringkali kerja-kerja pengentasan kemiskinan lebih butuh empati dan keberpihakan dari para fasilitator. Barangkali seperti empati dan keberpihakan Romo Mangunwijaya yang bertahun-tahun setia mendampingi warga miskin tergusur waduk Kedungombo Jawa Tengah, Wardah Hafidz di tengah-tengah komunitas miskin Jakarta, Ibu Teresa di kampung-kampung kumuh India, atau Butet Manurung di tengah ketertinggalan orang-orang rimba di pedalaman.

Empati semacam itu tidak bisa ditumbuhkan hanya dengan seminggu pelatihan fasilitator. Kalaupun bisa ditumbuhkan, paling banter hanya menghasilkan empati dan keberpihakan semu. Empati dan keberpihakan yang otentik hanya bisa tumbuh manakala fasilitator live in, tinggal bersama masyarakat yang didampingi dan dibelanya.

Maka kita patut mencemaskan ratusan pelatihan fasilitator yang dirancang mengiringi program pengentasan kemiskinan ini hanya menghasilkan fasilitator instan. Fasilitator yang cakap menggunakan berbagai metode partisipatif tetapi tidak punya hati. Fasilitator cepat saji yang lebih mirip tentara bayaran untuk disewa dalam jangka waktu tertentu. Fasilitator yang siap “menjajah” dari satu desa ke desa lain. Fasilitator yang menganggap masyarakat miskin dan kemiskinan sebagai masalah yang berada di luar dirinya. Fasilitator yang melayani lembaga mana saja yang penting dibayar mahal. Fasilitator yang tidak pernah sempat menginternalisasi proses pendampingan dan pembelajaran bersama masyarakat sebagai bagian dari hidupnya sendiri. Fasilitator yang menghabiskan waktu luangnya untuk membaca iklan lowongan kerja fasilitasi dari lembaga-lembaga internasional. Pendeknya, fasilitator profesi.

Budak Metodologi

Tidak hanya dunia fesyen yang mengenal trend atau perubahan kecenderungan minat orang kepada, misalnya merk baju atau gaya rambut tertentu dalam suatu waktu. Dunia pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan pun mengenal kecenderungan perubahan macam ini. Diantara banyak merk metode partisipasi, yang sedang populer dan mewabah di kalangan fasilitator sekarang ini adalah merk participatory learning and actionparticipatory rural appraisal dan participatory poverty assessment. Bahkan lembaga-lembaga pemerintah yang pada masa Orde Baru fanatik mengenakan baju mobilisasi, kini tak malu mengkampanyekan partisipasi.

Karena menjadi menu utama pelatihan, fasilitator-fasilitator kita hafal benar dengan rupa-rupa metode itu. Bahkan ada sebagian dari mereka yang memperlakukan metode partisipasi itu layaknya “agama”. Sementara Paolo Freire -tokoh pendidikan kritis, dan Robert Chambers -penemu participatory rural appraisal menjadi “nabi” yang setiap pemikirannya menjadi rujukan percakapan dan kerja mereka. Wajar karena metode ini menjadi menu utama setiap pelatihan.

Yang mencemaskan dari kecenderungan ini adalah para penentu kebijakan program pemberdayaan masyarakat dan fasilitator mudah lupa bahwa metode-metode itu sejatinya hanyalah alat. Sebelum turun ke lapangan, umumnya fasilitator kita lebih sering berkonsentrasi memikirkan bagaimana metode itu bekerja di lapangan. Mereka sibuk merancang teknik diskusi, memilih media-media pembelajaran, atau merancang game-game yang membuat warga miskin nyaman bicara. Sementara situasi dan masalah kemiskinan di desa yang hendak didampinginya luput dari perhatian.

Dengan kata lain, fasilitator sejatinya bekerja lebih untuk kepentingan dirinya. Kepentingan agar focus group disccussion yang dilakukannya nanti berjalan lancar, agar dirinya tampil prima di hadapan warga miskin, agar warga terpingkal-pingkal mengikuti sebuah game, dan seterusnya. Yang terjadi kemudian proses diskusi memang berjalan mulus, dan warga miskin pulang dengan dada terhibur. Tapi kita melihat bahwa diskusi itu lebih merupakan sebuah panggung pertunjukan sirkus dengan fasilitator sebagai bintangnya daripada sebuah proses penyadaran dan pembelajaran terhadap problem kemiskinan warga. Pada saat itu baik fasilitator maupun warga miskin sama-sama menjadi budak teknik dan metodologi partisipasi.

Loncatan Karir Fasilitator

Memang masih banyak fasilitator yang bekerja sepi dari pamrih. Kebanyakan dari mereka bekerja untuk LSM lokal di lokasi-lokasi terpencil hampir tanpa bayaran. Hati dan keberpihakannya kepada warga miskin yang didampinginya tak perlu diragukan. Mereka adalah orang-orang setempat yang sudah bekerja jauh sebelum program-program pemerintah berskala besar itu diluncurkan.

Tetapi kita tidak pernah tahu sampai kapan orang-orang ini akan terus bertahan bekerja di lingkungan terdekat mereka. Dari berbagai obrolan, tertangkap mental dan keyakinan mereka kini mulai terganggu untuk melamar kerja ke lembaga-lembaga pembangunan masyarakat yang lebih besar dengan tawaran gaji yang lebih besar pula. Suatu pola perjalanan karir fasilitator mulai terbentuk: kerja di LSM lokal, kemudian pindah ke LSM nasional, dan berakhir di LSM internasional.

Tentu saja tidak ada yang keliru dari semua ini. Tetapi kemudian siapa yang akan mengawal proses-proses perubahan kemasyarakatan di tingkat lokal, jika fasilitator setempat hengkang karena bekerja di daerah lain? Yang diuntungkan tentu saja LSM-LSM internasional itu, karena mereka memiliki tenaga-tenaga fasilitator handal yang hati dan komitmennya tak diragukan. Sementara LSM lokal gigit jari dan harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk merekrut kembali para fasilitator baru.

Bagaimana dengan desa atau komunitas yang ditinggalkan? Desa-desa itu harus bersiap menerima kehadiran fasilitator baru, sang agen perubahan, yang berasal dari luar entah dari daerah mana. Persoalan pun kemudian muncul dan merembet.

Fasilitator baru ini harus memulai dari nol lagi, menjajaki kebutuhan dan menganalisis masalah lagi. Bukan karena tak ada hasil analisis yang sudah dikerjakan oleh fasilitator yang lama, melainkan karena dia adalah fasilitator baru yang umumnya buta situasi desa yang hendak didampinginya. Biaya program pun membengkak, hanya untuk mengurusi manajemen dan administrasi kefasilitatoran!

Program Baru, Institusi Baru, Masalah Baru

Kita masih ingat bagaimana cara pemerintah Orde Baru di masa lalu mengoperasikan program-program pembangunan masyarakat. Pada masa itu pemerintah gemar membentuk dan menciptakan intitusi-instiusi baru di desa-desa dan berbagai komunitas lokal. Sebutlah misalnya lembaga yang disebut LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa), KUD (Koperasi Unit Desa), Darma Wanita, atau PKK (Paguyuban Kesejahteraan Keluarga). Lembaga-lembaga ini terbukti tidak terlalu banyak menolong, malahan menimbulkan masalah baru.

Anehnya modus seperti itu juga yang banyak dipakai oleh program-program pemberdayaan masyarakat di masa sekarang. Setiap kali diluncurkan program, setiap kali pula institusi baru dibentuk di tingkat desa. Belum lagi “huru-hara” membentuk lembaga baru bernama Badan Perwakilan Desa (BPD) amanat UU Otonomi Daerah selesai, desa harus disibukkan dengan pembentukan lembaga baru bernama BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat) yang disyaratkan oleh PNPM-P2KP.

Butuh proses dan waktu yang lama untuk membuat lembaga-lembaga baru ini tumbuh dan matang. Maka persoalan baru pun lahir. Energi program dihabiskan untuk mengurusi tetek-bengek manajemen dan pembentukan lembaga, perekrutan fasilitator, dan lagi-lagi tujuan besar pengentasan kemiskinan luput dari perhatian.

Dari sudut pandang ini kita bisa menyaksikan dengan jelas, bahwa desa atau komunitas miskin sebenarnya tidak banyak berubah. Desa-desa sekarang lebih mirip komunitas yang dikepung oleh banyak program, banyak metodologi, dan banyak lembaga baru. Kadang-kadang desa juga dipakai sebagai medan pertarungan oleh berbagai departemen, LSM, atau siapa saja dengan kepentingan mereka masing-masing. Sementara program-program itu juga belum terbukti memberikan manfaat yang nyata. Kalau sudah begini, kita pantas membaca kembali salah satu prinsip dasar pemberdayaan masyarakat: “kalau program dan fasilitator tidak menyelesaikan masalah, kita harus curiga program dan fasilitator itu sudah menjadi bagian dari masalah”.

About Dwi Joko Widiyanto

Pemimpin Redaksi www.kanalfasilitator.com, communication specialist pada PT SOLIDARITAS Consultindo, sedang bereksperimen mengembangkan instrumen jurnalistik untuk program-program pembangunan (story of change), commuter Jakarta-Bandung

Check Also

silaken_web

Jalan Alternatif Reformasi Birokrasi

Oleh: Dwi Joko Widiyanto. Tekad pemerintah menjadikan reformasi birokrasi sebagai prioritas pembangunan mungkin hanya akan …

media_web

Bekerja Bersama Media Massa

Oleh: Dwi Joko Widiyanto.   ”Kehadiran wartawan bisa menutupi kelemahan pegiat LSM yang biasanya gagap …

2 comments

  1. Muhammad Rustam

    Ini sebuah pencerahan, baik untuk memperkuat kembali paham tentang konsep pemberdayaan masyarakat

  2. a Muh syarief hidayat

    keren ….ini menjadi bahan refleksi buat para pendamping ….fasilitasi dengan hati .


Fatal error: Uncaught wfWAFStorageFileException: Unable to save temporary file for atomic writing. in /home/bumiman3/public_html/wp-content/plugins/wordfence/vendor/wordfence/wf-waf/src/lib/storage/file.php:15 Stack trace: #0 /home/bumiman3/public_html/wp-content/plugins/wordfence/vendor/wordfence/wf-waf/src/lib/storage/file.php(542): wfWAFStorageFile::atomicFilePutContents('/home/bumiman3/...', '<?php exit('Acc...') #1 [internal function]: wfWAFStorageFile->saveConfig() #2 {main} thrown in /home/bumiman3/public_html/wp-content/plugins/wordfence/vendor/wordfence/wf-waf/src/lib/storage/file.php on line 15