Oleh: Dwi Joko Widiyanto.
Belajar dari Program Sanitasi Berbasis Masyarakat di Kabupaten Sumedang.
Partisipasi publik yang kuat, adanya aparat birokrasi yang pro kesehatan publik, dan ketersediaan regulasi yang kokoh adalah syarat mutlak keberhasilan pembangunan kesehatan lingkungan. Inilah pelajaran penting yang dapat diambil dari pengalaman Kabupaten Sumedang, sebuah kabupaten di Jawa Barat yang berhasil membangun 112 desa sehat yang bebas dari kebiasaan buang air besar sembarangan penduduknya dalam tempo kurang dari 10 tahun.
Tanpa Uang, Bermula dari Satu Desa
Cerita tentang keberhasilan Kabupaten Sumedang ini berawal dari Sukawangi, sebuah desa kecil di Kecamatan Pamulihan. Tujuh tahunan yang lalu desa ini menyimpan banyak kisah sedih kesehatan lingkungan, ibu, bayi dan balita. Kondisi sanitasi warga yang buruk, tingginya kebiasaan buang air besar sembarangan (BABS), dan terbatasnya fasilitas kesehatan publik menyebabkan warga desa rentan terhadap serbuan aneka penyakit.
Muntaber dan diare akut yang berujung kepada kematian adalah beberapa penyakit tahunan yang kerap mewabah di desa ini. Sementara pemerintah daerah nyaris tidak punya daya karena minimnya anggaran kesehatan publik.
Pada 2006, tidak berapa lama setelah wabah diare melanda Sukawangi, sejumlah kecil pegawai di lingkungan dinas yang membidangi soal air dan sanitasi, antara lain Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kesehatan, Badan Lingkungan Hidup, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa (BPMPD) menggagas apa yang disebut sebagai Klinik Sanitasi.
Melalui klinik ini, mereka memutar otak mengembangkan metode-metode kampanye alternatif untuk menggerakkan penduduk meninggalkan kebiasaan BABS. Kebiasaan inilah yang menurut mereka menjadi pemicu utama wabah diare dan muntaber di banyak desa di Sumedang.
Mereka berfikir tidak akan mudah mengubah perilaku BABS yang nyaris sudah membudaya. Karena itu sekelompok pegawai ini mencoba menyadarkan publik dengan metode CLTS (Community Led Total Sanitation). Metode ini diyakini lebih mampu mengubah perilaku karena bertumpu kepada penyadaran kritis masyarakat atas masalah dan potensi mereka sendiri. Sebanyak dua RW (Rukun Warga) dengan kondisi sanitasi terparah di Desa Sukawangi dipilih sebagai lokasi percobaan.
Nyaris tanpa subsidi, dalam kurun waktu dua bulan sebanyak 287 keluarga di 11 RW di Sukawangi membangun jamban atas inisiatif sendiri. Empat bulan kemudian pada akhir 2006 Desa Sukawangi dinyatakan sebagai desa bebas tai, tingkat kematian bayi akibat diare menurun drastis, sanitasi warga desa tertata rapi, jamban-jamban penduduk serba bersih, dan warga sudah lama mengharamkan buang air besar sembarangan (BABS). Metode CLTS terbukti efektif.
Menggali dan Memperluas Dukungan
Meskipun eksperimen di Sukawangi berhasil, tetapi secara kelembagaan program sanitasi belum banyak dilirik oleh dinas-dinas di lingkungan pemerintah kabupaten. Keterlibatan sejumlah pegawai sebagai “aktivis sanitasi” atau lebih sering disebut “Tim Gerilyawan Stop BABS” lebih karena motivasi dan keprihatinan individual. Dinas-dinas lain, kecuali Dinas Kesehatan masih menganggap kesehatan lingkungan sebagai bukan pekerjaan penting.
Karena itu program sanitasi berjalan lambat. Dalam kurun waktu 2006-2008, dengan dukungan dana terbatas Tim Gerilyawan Stop BABS hanya sanggup membangun 10 desa bebas tai. Wabah diare akut dengan penderita sebanyak 35 orang masih muncul pada kurun waktu ini.
Situasi mulai berubah pada tahun 2008-2009. Sadar bahwa program sanitasi tidak bisa dijalankan sendirian oleh Dinas Kesehatan, Tim Gerilyawan Stop BABS mencoba memperluas dukungan melalui berbagai kegiatan advokasi. Diskusi, lobby dan negosiasi lintas program dan lintas pelaku pembangunan digelar untuk ini.
Hasilnya pada Mei 2010 Bupati Sumedang meresmikan Tim Gerilyawan Stop BABS menjadi Kelompok Kerja AMPL (Air Minum Penyehatan Lingkungan) dengan mandat utama mengelola program sanitasi total berbasis masyarakat. Pokja ini beranggotaan 8 SKPD, perguruan tinggi, LSM dan ormas. Pada tahun ini juga, tema air minum penyehatan lingkungan dimasukkan sebagai misi resmi Kabupaten Sumedang.
Mengantongi ijin dan kewenangan resmi membuat Pokja AMPL lebih leluasa bergerak. Kehadiran Pokja membuat kerja-kerja program sanitasi yang serabutan menjadi lebih fokus dan terencana. Pokja berhasil menetapkan apa yang disebut sebagai lima pilar sanitasi total berbasis masyarakat: pilar pertama, bebas dari buang air sembarangan; pilar kedua, perilaku mencuci tangan dengan sabun untuk memutus mata rantai penularan penyakit terkait sanitasi lingkungan; pilar ketiga, pengelolaan air dan makanan dalam rumah tangga; pilar keempat, pengelolaan limbah rumah tangga dan drainase; pilar kelima, manajemen pengelolaan sampah rumah tangga.
Pada saat yang sama pula Pokja AMPL berhasil meraih dukungan dari PNPM Mandiri, bahkan kalangan perusahaan yang tergabung dalam Forum CSR (Corporate Social Responsibility). Pada periode ini, lahir Peraturan Bupati No. 113 Tahun 2009 tentang Sumedang Puseur Budaya Sunda, peraturan yang dianggap memberi legitimasi kultural atas program sanitasi. Dukungan dana dari SKPD juga bertambah. Dan, Sumedang meraih penghargaan Manggala Karya Bhakti Husada Arutala dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Regulasi dan Jaminan Keberlanjutan Program
Periode 2010-2012 barangkali dapat disebut sebagai titik puncak keberhasilan program sanitasi di Kabupaten Sumedang. Program makin meluas, inisiatif warga untuk membangun sanitasi sehat tumbuh di banyak desa. Pada akhir tahun 2011 desa bebas tai bertambah menjadi 104 desa, dan dukungan dana dari pemerintah meningkat hingga mencapai 1,8 milyar pada tahun 2012.
Mulai terlembagakannya program sanitasi dalam tata kelola pemerintahan daerah adalah faktor penting yang mendorong keberhasilan ini. Setelah menetapkannya sebagai misi resmi kabupaten, Sumedang menetapkan Peraturan Bupati No. 30 Tahun 2010 tentang Strategi Daerah Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Atas dasar peraturan ini, program sanitasi total berbasis masyarakat dijadikan sebagai salah satu menu PNPM Mandiri Perdesaan.
Pada akhir tahun 2011 PNPM Mandiri Perdesaan misalnya telah mengadakan program penyediaan air bersih di 57 desa, pelatihan sanitasi total di 18 desa, pelatihan biogreen untuk komposting sampah organik, dan lain-lain. Peraturan ini juga yang telah menumbuhkan forum-forum komunikasi informal antar pelaku pembangunan di kabupaten ini.
Pada tahun 2012 terbit Peraturan Bupati No. 4 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Daerah Air Minum Penyehatan Lingkungan Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium Kabupaten Sumedang. Regulasi ini membuat koordinasi antar pelaku pembangunan sanitasi makin rapi dan tertata.
Saat ini para pelaku pembangunan sanitasi di Kabupaten Sumedang tengah menggagas draft Perda Lingkungan Hidup yang mengatur pemberian sanksi tegas bagi masyarakat yang membuang limbah sembarangan. Digagas juga draft Perda Tata Kelola Rumah Tangga yang mengatur sanitasi total berbasis masyarakat sebagai salah satu indikator rumah tangga sehat di Kabupaten Sumedang.
Regulasi lain yang dianggap memperlancar program sanitasi adalah Perda No. 1 Tahun 2007 tentang Prosedur Perencanaan dan Penganggaran, serta Peraturan Bupati No. 10 Tahun 2008 tentang Forum Delegasi Musrenbang. Kedua peraturan ini memungkinkan aktivis sanitasi masuk dalam medan advokasi perencanaan dan penganggaran.
Partisipasi publik yang kuat, adanya birokrasi yang mau berfikir lintas sektor, dan jaminan regulasi inilah yang telah membuat Sumedang pada 2012 berhasil membangun 112 desa sehat yang bebas dari kebiasaan buruk BABS penduduknya. Dari 213 desa bebas BABS di Jawa Barat, Kabupaten Sumedang menyumbang hampir separuhnya.
Terutama partisipasi publik, Eki Riswandiah, Kepala Seksi Kesehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Sumedang yang juga Ketua Pokja AMPL menuturkan, “Kami mempunyai ratusan kader-kader lokal dan warga aktif (active citizen) yang kuat dan tanpa pamrih terlibat dalam program ini. Tanpa mereka, sanitasi Sumedang tak akan sesukses sekarang.”