NATO (No Action Talk Only), istilah yang sering kita dengar saat kita kesal pada seseorang yang senangnya hanya bicara, tanpa ada aksi apapun. Tetapi istilah itu tidaklah tepat kita sematkan pada diri seorang Hendrik Hambatana. Pak Hendrik, demikian warga menyebut dia, adalah Sekretaris Desa Persiapan Prailangina (yang akan mekar dari Desa Napu) Kecamatan Haharu, Kabupaten Sumba Timur.
Di tengah keterbatasan Prailangina, yang jaraknya dari Kota Waingapu sejauh 78 km dan dikenal sebagai desa yang ‘Susah Signal’, kering, dan lahannya batu bertanah ini tidak membuat laki-laki berkumis ini patah semangat. Karena belum bisa mengakses dana sendiri, maka apapun program atau proyek yang turun ke desa ini, dia lahap. ‘Saya selalu terima apapun proyek atau program yang masuk ke desa ini, karena ini kesempatan bagi desa kami terutama aparat desa untuk menambah wawasan. Walau kadang gagal, karena tidak berkelanjutan, tetapi kami jadi belajar cara kembangkan program yang efektif, ini jadi modal kami nanti kalau sudah menjadi desa definitif”, begitu ungkap Pak Hendrik pada satu kesempatan.
Pak Hendrik beserta dengan jajaran aparatur desa, selalu bergerak cepat menyambut peluang yang ada; dan selalu mengajak seluruh warga untuk berpartisipasi dalam proyek atau program itu. Uniknya setiap bulan bertempat di kantor desa yang masih sangat sederhana, dia melakukan pertemuan rutin dengan mengundang semua aparat desa, warga dan para pihak yang mendukung untuk melakukan monitoring dan rencana tindak lanjut bersama. Begitulah, semangat pemekaran desa serta partisipasi masyarakat, adalah modal besar desa ini dalam menggerakkan pembangunan.
Begitulah gambaran respon Prailangina, ketika Tim Konsorsium Humba Hamu melakukan sosialasi tentang gagasan proyek “Right to Land for Marginalized People’, kerjasama antara Yayasan Bumi Manira dengan VOICE. Gagasan itu langsung disambar; dalam hitungan hari saja, mereka bergerak sendiri dan kemudian mengusulkan lahan milik 6 kabisu di desa ini, yang dimotori oleh Nggiku Haram Bani, tokoh adat di desa ini yang terletak di Kampung Mbani Meha seluas 46 hektar, hendak didistribusikan kepada suluruh warga Prailangina, sebanyak 98 KK untuk dikelola, tetapi bukan untuk dimiliki. Lahan ini sangat cocok untuk pengembangan jambu, dan menurut Nggiku Haram Bani, dia sudah membuktikan sendiri, bahwa jambu mente sangat potensial dikembangkan di Prailangina khususnya di lahan itu. Karena dia sudah membuktikannya sendiri, satu kali masa panen, dia bisa meraup 10-12 juta rupiah.
Pak Hendrik sebenarnya heran juga, mengapa Bapak Nggiku mau mendistribusikan, karena gagasan ini pernah dia sampaikan juga. Ketika ditanya, Pak Nggiku menyampaikan:”Tujuan program ini baik, untuk peningkatan kesejahteraan semua warga, daripada dimiliki oleh perusahaan kan lebih baik kita manfaatkan bersama!”.
Melihat semangat desa ini, Tim Humba Hamupun tak kalah cepat untuk meresponnya. Pertemuan dan dialog secara intensif pun terus dilakukan, hingga akhirnya memunculkan poin-poin kesepakatan bersama terhadap hak dan kewajiban pemilik dan pengelola lahan. Pemetaan terhada lahan pun dilakukan untuk dapat memastikan batas-batas lahan dan areal kelola. Untuk mempermudah pengelolaan, warga mengorganisir diri ke dalam 7 kelompok. Mereka pun tak disuruh, secara begotong royong memagari lahan tersebut dengan gamal.
Tim Humba Hamu pun kemudian memfasilitasi Pak Hendrik dan jajaran aparat desa untuk berdialog dengan Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan dan Kepada Dinas Perkebunan atas rencana Prailangina tersebut. Gayung pun bersambut, kedua dinas itu pun memberikan peluang kepada Prailingan untuk mengakses dana dari dinas. Namun agar dana bisa diakses, mereka harus memiliki Kelompok yang telah dikukuhkan oleh Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan.
Ini tentu tidak sulit, karena pada prinsipnya mereka telah membentuk kelompok, hanya tinggal membuat usulan dengan mencantumkan nama kelompok dan anggotanya kepada pemerintah.
Akhirnya, tanggal 22 Maret 2019 bertempat di Kantor Desa Persiapan Prailangina, ketujuh kelompok dan Gabungan Kelompok Tani Prailangina dikukuhkan oleh Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, Kabupaten Sumba Timur. Dalam sambutannya, Jhon Jiwa Wunu mengapresiasi semangat Pemdes dan masyarakat Prailingina atas kesadaran dan kemauan masyarakat untuk mengorganisir diri serta mengenal potensi desanya. “Baru di Prailingina petani mengorganisir sendiri dan mempunya rencana usaha jangka panjang yang bagus sekali. Yang sangat langka, tokoh adat 6 kabisu dengan rela memberikan tanahnya untuk diolah masyarakat dan untuk kepentingan masyrakat. Ini baru terjadi pertama di Sumba Timur!”
Agar warga yang mengelola lahan itu mendapatkan kepastian akan haknya, pada hari yang sama dilakukan acara penandatangan perjanjian pendistribusian lahan di Kampung mbani meha seluas 46 hektar antara 6 kabisu yang diwakili oleh Bapak Nggiku dengan 7 Ketua Kelompok yang baru saja dikukuhkan. Sebaga pesan terakhir Pak Kadis menyampaikan:” Tolong kelola baik-baik lahan ini bagi peningkatan kesejahteraan warga Prailangina”.
Dari desa terpencil nun jauh di ujung Pulau Sumba, kita bisa belajar tentang demokrasi rakyat, demokrasi yang genuine, lahir dan berkembang dilingkungan masyarakat ada di Sumba Timur. Kita bisa belajar bagaimana proses musyawarah dan mufakat benar-benar dijalankan, bagaimana keterlibatan warga dalam proses pengambilan keputusan, bagaimana gagasan program itu benar-benar mewakili kepentingan seluruh warga, dan bagaimana nilai gotong royong dan kekeluargaan menjadi pilar dalam kehidupan bersama di desa.
Diambil sebagian dari tulisan Pelipus Mbewa Janggu, Spesialist Advokasi untuk Proyek VOICE
Farida Budi Utami