Pemetaan partisipatif untuk meningkatkan kesadaran kritis masyarakat terhadap PSDABM
Pemetaan partisipatif atau participatory mapping adalah salah satu metode pembuatan peta, dimana peta tersebut dibuat bersama masyarakat setempat yang mengenal wilayahnya dengan baik. Pemetaan partisipatif bisa jadi merupakan salah satu bentuk penerapan metodeParticipatory Rural Appraisal (PRA) dimana keadaan lingkungan desa digambarkan ke dalam peta atau sketsa desa yang dibuat oleh masyarakat sendiri. Dapat dikatakan pula bahwa peta yang dibuat dengan teknik pemetaan partisipatif ini adalah peta berbasis masyarakat.
Apa perbedaan pembuatan peta secara partisipatif dengan pembuatan peta oleh tim ahli pembuat peta? Pada hakekatnya, pemetaan partisipatif tidak semata bertujuan membuat gambar peta. Proses ini juga merupakan cara untuk memfasilitasi diskusi dengan warga setempat, mengenai keadaan wilayah desa tersebut beserta lingkungannya. Sebagian besar informasi yang terdapat dalam peta berasal dari pengetahuan masyarakat, sehingga proses pemetaan dan peta yang dihasilkan juga bertujuan untuk kepentingan masyarakat. Teknik pemetaan tidak hanya bertujuan sekedar membuat peta itu sendiri dan menjadikannya sumber informasi, melainkan juga menjadi alat untuk mengemukakan pendapat, berdiskusi, menganalisis, berpikir kritis, membuat perencanaan, serta untuk meningkatkan kesadaran kritis masyarakat akan kondisi lingkungannya.
Pemetaan partisipatif juga menjadi alat yang efektif untuk pengorganisasian masyarakat. Pemetaan partisipatif tidak saja membantu masyarakat untuk menegaskan tuntutan atas tanah, tetapi juga untuk melakukan klarifikasi, penjelasan dan menyelesaikan konflik. Penggunaan cara ini telah banyak dilakukan diantaranya pada bidang pengelolaan sumber daya alam, perencanaan aktivitas pertanian, implementasi lokasi penempatan sarana pendidikan dan kesehatan, penegasan batas wilayah, dan pengurangan risiko bencana (Chambers 2008).
Pada sisi lain, pemetaan partisipatif adalah salah satu alternatif metode pemetaan apabila informasi rinci suatu wilayah tidak mudah didapatkan dengan cara pemetaan konvensional, atau pada kondisi dimana penyelesaian pemetaan konvensional memerlukan waktu yang relatif lama. Kegiatan pemetaan partisipatif dapat menghadirkan narasumber yang memiliki keterkaitan erat dengan wilayah yang dipetakan, sehingga berbagai data dan informasi yang dikumpulkan dalam waktu yang lebih singkat. Hal ini berdasarkan kepada fakta bahwa masyarakat lokal mempunyai kapasitas dan pengetahuan yang mendalam mengenai lingkungan tempat tinggalnya (Thomas-Slayter 1995).
Baca juga: Studi Kasus tentang Pemetaan Partisipatif (1): Kasus Nagekeo—->> Link akan segera aktif
Peran Pemetaan Partisipatif pada Kebijakan One Map
Kebijakan Satu Peta Nasional atau One Map Policy adalah kebijakan Pemerintah Republik Indonesia mengenai informasi geospasial. Kebijakan ini ditetapkan karena berbagai permasalahan tentang isu pengelolaan sumber daya alam, lingkungan, serta sosial ekonomi sangat terkait erat dengan isu-isu kewilayahan. Isu-isu yang terkait pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan, penataan ruang, kerawanan bencana, dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia membutuhkan dukungan data informasi geospasial tematik yang terpadu. Informasi geospasial mengenai suatu wilayah perlu merujuk kepada satu sumber rujukan Peta Dasar yang berasal dari Peta Rupa Bumi. Dengan demikian, keputusan dan kebijakan strategis nasional diambil dengan berdasarkan informasi geospasial tematik secara lebih terpadu, akurat, tepat sasaran, mengurangi kesalahan kesimpangsiuran dan tumpang tindih data.
Open Map Policy adalah amanat Undang-undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial yang dikembangkan berdasarkan asas kepastian hukum, keterpaduan, keterbukaan, kemuktahiran, keakuratan, kemanfaatan dan demokratis. Undang-undang ini bertujuan untuk mewujudkan penyelenggaraan Informasi Geospasial yang bermanfaat melalui kerjasama, koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan pelaksanaan pemerintahan, serta berbagai aspek kehidupan masyarakat. Peraturan Presiden No. 9/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta (KSP) pada Tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000 yang diinisiasi oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Badan Informasi Geospasial (BIG) bertujuan untuk mewujudkan tata kelola sumber daya alam dan lingkungan yang baik (good governance), analisis keruangan untuk proyek-proyek pembangunan berkelanjutan, serta penanganan bencana yang lebih baik. Undang-undang ini juga menyebutkan tentang urgensi penyediaan informasi geospasial tematik skala besar, yaitu di tingkat kecamatan dan desa berdasarkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, serta Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial Nomor 3 Tahun 2016 tentang Spesifikasi Teknis Penyajian Peta Desa.
Namun implementasi UU no. 4 tahun 2011 ini di lapangan tidaklah mudah. Selama ini, peta desa umumnya hanya dibuat oleh Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), namun data dan informasi geospasial yang dihasilkan seringkali digugat oleh para pihak. Ya, terkait peta yang akan menjadi acuan harus ekstra hati-hati dalam membuatnya, karena data semacam ini melibatkan banyak konflik kepentingan. Apalagi ditambah dengan lambatnya proses penetapan dan perubahan tata ruang oleh pemerintah, tumpang tindih peta perizinan di antara perusahaan pemilik konsesi, dan berkembangnya konflik yang melibatkan masyarakat lokal. Contohnya selama ini, peta desa tematik mengenai tutupan lahan yang sama, bisa saja dikeluarkan oleh dua kementerian berbeda (dan batas-batas wilayah yang berbeda), sehingga berimplikasi terhadap arahan kebijakan atau pengambilan keputusan yang berbeda terhadap tutupan lahan dan hutan di Indonesia.
Selama ini, peta resmi hanya mencakup data resmi sektoral dari berbagai kementerian / instansi terkait berupa peta tematik (kehutanan, perkebunan, pertanahan, tambang dan energy dst) yang menjadi acuan terutama dalam hal perijinan, dan belum memuat informasi mengenai tanah-tanah ulayat yang dimiliki oleh komunitas adat di Indonesia. One map policy merupakan peluang untuk mengkomunikasikan keberadaan peta partisipatif dan wilayah adat kepada pemerintah. Peta wilayah adat perlu menjadi bagian dari referensi kebijakan pengaturan sector kehutanan atau kelautan dan lainnya, termasuk isu perubahan iklim global (REDD++), perhutanan sosial, serta kebencanaan. Peta tematik yang dibuat oleh kementerian dan lembaga pemerintah, misalnya peta perijinan dan hak guna usaha dan peta wilayah adat dapat ditampilkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan seperti Badan Informasi Geospasial, sehingga bisa terlihat oleh publik secara luas. Dengan demikian, informasi geospasial resmi pemerintah dapat meminimalisir ketidakjelasan dan carut marut pengelolaan sumber daya alam dan konflik agraria, serta pengambilan keputusan yang mempengaruhi masyarakat yang berada di dalam wilayah yang dipetakan tidak menimbulkan konflik.
Berdasarkan kondisi tersebut, perintisan jalan menuju One Map Policy membutuhkan restrukturisasi wewenang badan-badan pemerintah, lembaga-lembaga non-pemerintah, maupun pengusaha dalam menerbitkan peta atau menafsirkan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Perlu dipikirkan agar penyusunan peta (apalagi akan dijadikan kebijakan satu peta) melibatkan juga sudut pandang dari para pihak yang berkepentingan, terutama warga masyarakat yang mendiami wilayah yang bersangkutan. Disinilah pemetaan partisipatif memegang peranan penting, menjembatani kekurangan kapasitas masyarakat, agar suaranya bisa didengar dan dimasukkan ke dalam penyusunan peta tunggal Indonesia.
Optimalisasi Manfaat Pemetaan Partisipatif pada One Map di PSDABM
Informasi pada peta resmi dan registrasi kepemilikan lahan (kadaster / data pengukuran tanah) seringkali hanya mempertimbangkan standar atau atribut mengenai “tanah” dari sisi pemerintah. Padahal pada kenyataannya mungkin saja tanah atau lahan yang dimaksud telah dimanfaatkan dengan cara yang berbeda, yang terkadang oleh masyarakat yang telah tinggal lama di wilayah tersebut, jauh sebelum peta resmi dibuat. Misalnya, di daerah hutan, dimana seringkali sulit menggambarkan batas geografis dengan jelas. Pemetaan partisipatif mengumpulkan informasi dari masyarakat mengenai bagaimana pemanfaatan lahan di wilayah mereka dan apa saja praktik dan kegiatan yang dilakukan masyarakat di wilayah tersebut. Data yang diperoleh dari publik atau masyarakat merupakan data paling akurat karena masyarakat setempat mengetahui kondisi lingkungan tempat tinggalnya.
Pemetaan partisipatif ini juga dapat dipadukan untuk membuat peta berskala besar dan merilisnya kepada masyarakat luas secara gratis. Informasi yang dikumpulkan digunakan untuk menciptakan peta berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat, yang dapat melengkapi peta resmi dalam bentuk digital. Pemetaan partisipatif akan membantu dengan menunjukkan kenyataannya bagaimana wilayah tersebut dimanfaatkan dibandingkan dengan peta resmi.Dengan demikian, hasil pemetaan digital yang berbasis pemetaan partisipatif akan mendukung masyarakat dalam menyajikan pengetahuan, informasi dan membuka peluang dialog antara masyarakat dan pemerintah, serta mendorong pemerintah untuk mengakui dan melindungi tanah-tanah adat.
D balik peluang yang ada dari kebijakan one map policy, terselip juga sebuah ancaman, yakni jika ada perusahaan/ pihak tertentu memanfaatkan informasi yang diperoleh dari pemetaan partisipatif mengenai lahan tempat tinggal masyarakat dan potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh wilayah tersebut untuk kepentingan mereka sendiri. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan atau konflik jika kelompok masyarakat yang berbeda mungkin saja memanfaatkan lahan yang sama. Bisa juga terjadi persekongkolan antara para pencari profit, dengan oknum tokoh masyarakat, dalam memperjual-belikan lahan tanpa sepengetahuan atau persetujuan masyarakat, dan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang dari penjualan lahan tersebut.
Perlu klarifikasi tujuan utama ‘one map policy’, terutama yang bertujuan untuk membuka jalan bagi investasi lebih banyak. Perlu kehati-hatian apakah kebijakan ini justru membuka peluang landgrabbing / pencaplokan tanah. Salah satu penyebab Landgrabbing yang sudah terjadi sejak lama di Indonesia peta rujukan sektoral dan tidak diakuinya wilayah adat.
One Map Policy tidak serta merta menyelesaikan ketidakadilan pengelolaan dan konflik agraria. Peta hanya salah satu dasar pengambilan keputusan pemerintah yang dipengaruhi faktor-faktor lain di luar kekuatan peta itu sendiri, seperti faktor politik, kebijakan dan kepemimpinan dalam pengurusan Negara.
Yang perlu dipertimbangkan juga adalah masalah lisensi produk output peta. Sebaiknya, data hasil harus tetap terbuka sesuai prinsip yaitu gratis dan mudah diakses, berupa layer maupun data vector (mentahnya), meskipun pengguna data melakukan perubahan, penambahan, pencampuran data dan modifikasi. Kementerian dan lembaga lain perlu merilis data infomasi geospasial sebagai public domain, artinya baik layer atau data vector dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat dengan pertimbangan dan batas tertentu terbuka dengan klasifikasi data mana yang menjadi public domain (ruang public) dan data mana yang tetap tertutup. Di sisi lain, ketika publik bisa mengakses peta tersebut secara terbuka, masyarakat akan bisa melihat apa yang direncanakan di wilayah bersangkutan dan dapat mempersiapkan diri lebih baik untuk mempertimbangkan pembangunan yang akan membawa dampak negatif terhadap mereka.
Pemetaan partisipatif memfasilitasi masyarakat untuk menegaskan tata batas lahan mereka. Selain itu, lewat proses pemetaan partisipasi masyarakat bisa menemukan persatuan dan menyelesaikan konflik. Oleh karena itu, harus ada proses pertemuan saling menceritakan saling memberi pengertian terjadi kesepakatan untuk mensahkan peraturan. Proses rembuk bersama dan juga gambar yang disetujui bersama dan tidak ada yang ditutupi. Untuk mendistribukan hak guna lahan agar pihak luar juga paham, maka perlu bahasa yang disepakati yaitu peta.
Baca juga: Studi Kasus tentang Pemetaan Partisipatif (2): Kasus Penghapusan Dishut Kabupaten
Oleh: Pipin Noviati Sadikin
Bahan Bacaan:
http://www.esri.com/news/arcnews/spring12articles/indonesia-nsdi-one-map-for-the-nation.html
http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/kebijakan-satu-peta-one-map-policy-di-indonesia
https://wri-indonesia.org/id/our-work/project/inisiatif-satu-peta-di-tingkat-tapak
https://satupeta.go.id/about
https://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_Satu_Peta_Nasional
https://www.mongabay.co.id/2018/12/22/ketika-kebijakan-satu-peta-rilis-bagaimana-akses-publik/
https://risehtunong.blogspot.com/2017/12/cara-membuat-peta-desa-dengan-google.html
https://openstreetmap.id/pemetaan-partisipatif-dalam-mendukung-kebijakan-satu-peta-harapan-dan-tantangan/