Pembelajaran dari Kabupaten Nagekeo, Flores
Belajar dari sebuah Kabupaten di Pulau Flores: Kabupaten Nagekeo, kita akan menemukan sebuah kasus yang menarik. Yaitu bagaimana sebuah LSM lokal: Yayasan Mitra Tani Mandiri (YMTM) Flores memfasilitasi tercapainya kesepakatan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang bersifat bottom-up, dimana proses berasal dari tingkat masyarakat desa yang kemudian disahkan oleh Pemerintah Kabupaten. Kabupaten Nagekeo termasuk kabupaten yang baru terbentuk (diresmikan 22 Mei 2007). Masih banyak tanah ulayat yang dikuasai oleh kaum adat. Tanah ini biasanya tidak ada sertifikatnya, hanya berupa klaim lisan oleh suku setempat.
Untuk masyarakat di wilayah pedesaan, lahan adalah salah satu faktor produksi utama karena sebagian besar mengandalkan kehidupannya dari bertani. Karena karakteristik masyarakat yang pada umumnya petani, maka YMTM masuk ke wilayah ini, ke desa-desa untuk mendampingi petani di beberapa desa, agar petani menerapkan manajemen usaha tani yang lebih berkelanjutan sehingga dapat menjamin keberlangsungan perekonomian keluarganya.
Ketika membahas usaha tani tanaman umur panjang, timbul masalah, karena petani merasa sulit menerapkannya. Status lahan yang tidak jelas, mengancam tanaman umur panjang mereka. Karena bisa jadi ketika petani bersusah payah menanam dan merawat tanamannya, mendadak datang pihak yang mengaku pemilik sah dari lahan tersebut dan mengusir petani dari kebun mereka. Masyarakat menceritakan bahwa di desa-desa di Nagekeo masih banyak bangsawan/Musalaki yang meng-klaim lahan sebagai milik mereka/hak adat mereka.
Selain klaim dari penguasa adat, klaim dari negara juga mengancam. Kadang-kadang tanpa sepengetahuan petani, ternyata kebun mereka akan dijadikan lokasi jalan oleh negara. Atau, yang lebih sering terjadi, penetapan suatu wilayah menjadi kawasan hutan. Padahal jika suatu wilayah termasuk kawasan hutan, maka untuk melakukan aktivitas di dalamnya harus mengikuti skema yang telah ditetapkan oleh pemerintah, misalnya melalui skema Hutan Kemasyarakatan. Padahal, petani sudah berkebun di lokasi tersebut seumur hidupnya.
YMTM kemudian mengawali kemitraan dengan beberapa staf teknis pemerintah bagian Tata Ruang Bappeda. Kemitraan ini berawal dari kebutuhan tenaga ahli pemetaan yang biasa menggunakan alat GPS. Ternyata keterlibatan unsur pemerintah dalam diskusi dengan masyarakat adat justru menimbulkan empati dan kesadaran akan pentingnya RTRW sebuah wilayah dibangun melalui kesepakatan ditingkat masyarakat. Wilayah yang membutuhkan RTRW tidak hanya wilayah perkotaan, tetapi desa pun membutuhkan sebuah RTRW. Misalnya untuk menetapkan zona kebun masyarakat, zona permukiman, dan zona infrastruktur. Kuncinya, RTRW desa harus diketahui dan diintegrasikan dengan RTRW Kabupaten. Hal ini akan membuat perencanaan lebih efektif dan efisien. Misalnya jika satu tiang listrik direncanakan untuk menyalurkan ke 20 unit rumah, jelas adanya RTRW desa, akan sangat membantu.
Salah satu pembelajaran terpenting dari proses ini, pemetaan menggunakan GPS adalah hal teknis. Tetapi ternyata dari alat yang teknis ini, ada banyak sekali aspek sosial yang bisa digali, termasuk: budaya, perilaku masyarakat, livelihood, dll. Lama kelamaan, peta menjadi instrumen penting dalam merancang kebijakan. Berbeda dengan masa sebelumnya, dimana peta tidak dijadikan acuan, sehingga ketika misalnya ada proyek pelebaran jalan, pemerintah kesulitan membedakan siapa pihak yang terdampak, dan siapa yang tidak.
Lalu dimana urgensinya melibatkan hukum adat dalam pengembangan RTRW desa? Sudah banyak contoh di wilayah NTT, termasuk pulau Flores, dimana struktur adat masih memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat termasuk di Nagekeo. Dari pengalaman YMTM, masyarakat adat di Kabupaten Nagekeo masih beranggapan bahwa: “hukuman atas pelanggaran hukum adat adalah dari ‘Atas’, sedangkan hukuman atas pelanggaran hukum pemerintah, berasal dari manusia”. Sehingga masyarakat terlihat cenderung lebih takut melanggar aturan adat, daripada aturan pemerintah.
Berangkat dari pemahaman tersebut, YMTM Flores melakukan lobbying yang cukup lama terhadap para penguasa adat, untuk mau mendistribusikan tanah ulayat untuk menjadi kebun bagi masyarakat yang membutuhkan. Proses ini dibarengi dengan mengkonfirmasi kepada pemerintah, tentang RTRW/ rencana pemerintah di wilayah tersebut, sehingga diperoleh kepastian status peruntukan lahan yang akan didistribusi. Kesepakatan mengenai aturan pembagian lahan dan hal-hal yang harus dipatuhi kemudian diresmikan dengan acara adat, sehingga masyarakat mengetahui hak dan kewajibannya, serta sanksi atas setiap pelanggaran. Pemerintah kemudian mengangkat peta pembagian lahan tersebut, meng-overlay dengan peta digital, menjadi acuan dalam perencanaan daerah.
Oleh : Riza Irfani