Pada akhir tahun 2016, Tim dari SDM (Studio Driyamedia) melakukan sebuah evaluasi program Kehutanan Masyarakat untuk mitra di kawasan NTB dan NTT. Salah satu hal yang menggelitik adalah ketika tim melakukan kunjungan dan diskusi dengan staf dinas kehutanan dan lingkungan hidup di tingkat kabupaten, ternyata mereka sedang transisi dari Kantor Dinas Kabupaten, menjadi Unit Pelaksana Teknis Daerah Kesatuan Pengelolaan Hutan. Kantor Dinas Kehutanan, dipusatkan hanya di Provinsi.
Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan Undang-undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, dimana terdapat beberapa perubahan dari struktur pemerintahan daerah sebelumnya. Peraturan ini diikuti dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.74/Menlhk/Setjen/Kum.1/8/2016 tentang Pedoman Nomenklatur Perangkat Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang Melaksanakan Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup dan Urusan Pemerintahan Bidang Kehutanan. Sehingga, beberapa dinas hanya ada di tingkat provinsi, dan dinas yang berada di wilayah kabupaten/kota harus ‘hilang’ atau berubah.
Secara internal, PNS yang ditempatkan di tingkat kabupaten adalah pihak yang paling terdampak. Selain masalah kepangkatan dan jabatan, ada PNS kabupaten yang memandang sistem baru ini lebih bermasalah, karena dipangkasnya wewenang. Sehingga proses pengambilan kebijakan akan lebih lambat, menunggu dari provinsi. Namun ada juga yang memandang sistem ini lebih baik, karena memperkecil toleransi terhadap pelanggaran peraturan.
Bagi daerah-daerah tertentu, terutama yang terdekat dengan ibukota provinsi, peraturan ini tentunya tidak menjadi masalah. Tetapi bagi masyarakat yang tinggal di desa-desa tepi hutan di kabupaten-kabupaten yang terletak jauh dari ibukota provinsi, perubahan ini sangat terasa dampaknya. Misalnya masyarakat di Pulau Sumba, untuk mengurus proses Ijin Usaha Perhutanan harus memproses ke kantor Dinas Kehutanan yang terletak di ibukota provinsi, yakni Kupang di Pulau Timor. Demikian juga dengan masyarakat di pulau Sumbawa, yang harus mengurus ke Kota Mataram di Pulau Lombok. Dibutuhkan waktu, energi dan biaya yang ekstra tentunya.
Jika sudah begini, maka masyarakat juga yang terkena getahnya. Dengan sistem sebelumnya, dimana ada kantor Dinas Kehutanan di tingkat kabupaten seringkali masih ada hambatan, apalagi jika diharuskan mengurus ke tingkat provinsi. Biaya untuk transportasi kepengurusan akan membengkak. Masyarakat harus mengandalkan tokoh yang peduli dengan masyarakat, dan memiliki kemampuan dan waktu untuk mengurus.
Dengan demikian, peran lembaga pendamping, seperti LSM menjadi semakin penting untuk memfasilitasi warga masyarakat. Karena dengan sumber daya seperti tenaga pendamping yang memahami prosedur, lembaga pendamping sangat dibutuhkan kehadirannya oleh masyarakat. Namun pada sisi lain, sebetulnya pemerintah pun membutuhkan para pendamping ini, untuk mensosialisasikan prosedur dan peraturan tersebut.
Hal ini menjadi tantangan baru bagi lembaga-lembaga pendamping masyarakat, yaitu: bagaimana memperoleh donor untuk kegiatan mereka membantu masyarakat (dan pemerintah). Sebelumnya, salah satu masalah yang dihadapi oleh lembaga pendamping masyarakat dalam berkolabrasi dengan pemerintah adalah sistem rotasi kepemimpinan. Ya, seringkali setelah melalui sebuah proses yang panjang untuk meyakinkan pihak pemerintah, khususnya pejabatnya, lalu terjadilah pergantian pejabat. Jika kebetulan pejabat penggantinya satu visi dengan pejabat sebelumnya, tentunya tidak akan terlalu bermasalah. Tetapi jika pejabat yang baru memiliki pandangan yang sama sekali berbeda, mau tidak mau lembaga-lembaga pendamping harus melakukan re-start upaya advokasi dengan pejabat yang baru.
Oleh : Riza Irfani