Warning: session_start(): open(/opt/alt/php72/var/lib/php/session/sess_6b9421eb270fec344f1203e5fa012e8d, O_RDWR) failed: Disk quota exceeded (122) in /home/bumiman3/public_html/driyamedia/wp-content/plugins/landing-pages/landing-pages.php on line 24

Warning: session_start(): Failed to read session data: files (path: /opt/alt/php72/var/lib/php/session) in /home/bumiman3/public_html/driyamedia/wp-content/plugins/landing-pages/landing-pages.php on line 24
Kerja Fasilitator: Mendampingi dengan Hati - Driyamedia
Home / Opini / Kerja Fasilitator: Mendampingi dengan Hati

Kerja Fasilitator: Mendampingi dengan Hati

Sebuah program community development perlu dikawal oleh fasilitator yang tangguh. Idealnya, fasilitator berasal dari khalayak program. Jika pun terpaksa diambil dari luar, dia harus bersedia tinggal bersama masyarakat yang didampinginya. Bagaimana seharusnya seorang fasilitator bekerja? Apa yang dilakukannya selama mendampingi masyarakat? Bagaimana cara fasilitator membangun kepercayaan masyarakat?

”Karir” Fasilitator

Dhoni Muharam. Pemuda lajang ini sudah lebih dari tiga tahun mendampingi komunitas petani. Berbeda dengan kawan sebayanya yang menghabiskan banyak waktu bekerja di kota, dia memutuskan lebih banyak tinggal di Kampung Salamitan, Kelurahan Setiamulya, Kecamatan Tamansari, Kota Tasikmalaya.

Rasanya tidak ada warga Salamitan yang tidak mengenalnya. Remaja, ibu-ibu, dan para bapak. Para petani di kampung ini bahkan seperti sudah hafal sosok dan deru motor bututnya. Perjalanan Dhoni naik motor mengunjungi kelompok tani, pasti selalu memakan waktu lebih lama. Selalu saja ada petani yang menyapa, menghentikannya bermotor dan mengajak ngobrol di atas pematang,  atau sekedar melambaikan tangan.

Si Dhoni mah nggeus warga dieu (Dhoni sudah menjadi warga di kampung ini)”. ”Dia udah bukan siapa-siapa”. ”Tidur di mana saja dia bisa”. Pernyataan-pernyataan semacam itu kerap muncul dari para petani, mungkin ekspresi dari rasa keberterimaan mereka.

Pernyataan-pernyataan semacam itu juga muncul di lokasi-lokasi program yang lain. Warga mengenal dengan baik Mohamad Ega N., Gina Gunarsih, Toni Atoillah, Leni Haveriani, Nuke Siti Nurkumala, Yati Daryanti, Iim Nahdyah S, Ida Farida, Mita J. Hasanah, Yonatan Natanael, dan Dini Fajrin. Merekalah yang selama ini menjadi fasilitator, dan pilar penyangga program di lapangan. Barangkali ini menjadi penyebab mengapa program SNT tak goyah sepeninggal konsultan asing. Rata-rata dari mereka lebih banyak menghabiskan waktu bersama warga. Lokasi kantor yang berada tepat di jantung lokasi program memungkinkan mereka bisa bergaul rapat dengan warga.

Tetapi ada sesuatu yang membuat pengalaman kefasilitatoran Dhoni menjadi lain. Yakni “karir” kefasilitatorannya yang dibangun dari bawah sebelum akhirnya dia menjadi supervisor program pertanian pada tahun 2007.

Dia sendiri hanya lulusan SMA. “Saya tidak mempunyai pengetahuan apapun tentang pemberdayaan masyarakat”, akunya. Dhoni memulai pekerjaannya pada Agustus 2002 sebagai seorang perawat kelinci di kantor SNT. Dulu, SNT memang mempunyai program pengembangbiakan kelinci untuk petani. Dia mengaku tidak punya keinginan terlalu banyak, selain belajar nyawah dan dunia tani.

Pilihan Dhoni atas pekerjaan ini  bukan tanpa masalah. “Mungkin karena ayah saya pegawai negeri sipil, dulu saya dilarang kerja semacam ini. Saya cuek aja. Untuk saya kerja apapun tidak masalah. Yang penting ada keyakinan bahwa kita tidak akan terus begini”.

Belajar dari Lapangan

Mungkin karena dipandang serius belajar dan sering mengikuti perjalanan supervisor pertanian ke lapangan, Dhoni hanya perlu waktu beberapa bulan mengurus kelinci. Dia kemudian diangkat menjadi asisten lapangan pertanian.  Saat itulah Dhoni mulai akrab dengan kehidupan petani Salamitan hingga sekarang. “Orang tua saya sekarang menjadi lebih mengerti dengan tujuan kerja semacam ini”.

Jangan bertanya kepada Dhoni tentang teori atau metode-metode pendampingan masyarakat. Dia hanya punya pengalaman. “Ketika berdiskusi dengan petani, saya dan Ega (Muhamad Ega N.) biasa menggunakan teknik visual, dengan gambar, atau contoh-contoh nyata. Saya baru tahu kemudian bahwa itu salah satu metode participatory learning and action”, katanya.

Dhoni membiasakan khalayak program untuk membuat catatan. Rapat-rapat kelompok tani, hingga membuat sketsa-sketsa kebun percontohan di atas kertas. “Coba bikin gambar dulu. Kira-kira bentuknya seperti apa. Berapa tinggi dan panjangnya. Bahan apa saja yang diperlukan. Butuh berapa orang untuk mengerjakannya. Sebaiknya ditulis, supaya orang bisa baca dan mengerti apa maumu, “ begitu dia bilang kepada beberapa petani muda yang ingin membuat rak buku perpustakaan kampung.

Di rumah kecil yang menjadi pos kegiatan petani di Salamitan tertempel puluhan kertas dengan tulisan beraneka.  Jadwal rapat kelompok pemuda tani, jadwal pertemuan dengan ibu-ibu, dan hasil-hasil kesepakatan kelompok. Semua ditulis detil dan rapi. “Saya sedang berfikir agar keterampilan membuat pupuk organik yang dimiliki Pak Uned, bisa ditulis menjadi buku kecil dan disebarluaskan”.

Dhoni menyadari kemudian, bahwa pekerjaannya ngarit (mencari rumput) untuk makan kelinci membantunya lebih memahami masalah komunitas petani. Semasa merawat kelinci di kantor SNT, dia memang ngarit sampai Salamitan, karena rumput-rumput di daerah ini masih bagus dan hijau. “Biasanya pada saat ngarit itulah saya ketemu dengan banyak petani. Dari situ saya mulai belajar memahami masalah mereka. Saya menemukan bahwa kelinci bukanlah kebutuhan mereka, dan program budidaya kelinci tak akan banyak berguna. Masalah utama petani Salamitan ternyata adalah produktivitas yang rendah, ketergantungan yang tinggi kepada bahan kimia, serta kelembagaan petani yang lemah”.

Waktu itu Dhoni belum mengenal dengan apa yang disebut penjajakan masalah atau assessment program. “Saya menjajaki masalah petani sambil ngarit. Ngarit itulah metode assessment saya,” katanya tergelak.

Mendampingi dengan Hati

Menurut Dhoni, yang paling penting dilakukan dalam kerja-kerja pendampingan masyarakat adalah membangun kepercayaan. “Saya selalu menegaskan bahwa saya orang luar yang tidak akan selamanya di Salamitan”. Karena itu program harus menjadi milik khalayak.

Sejak sepuluh tahun terakhir dunia pemberdayaan masyarakat di Indonesia memang mengalami booming fasilitator. Jumlah fasilitator membludak sejak lahirnya rupa-rupa program pengentasan kemiskinan, baik yang diinisiasi organisasi pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat dalam dan luar negeri.

Tak begitu jelas jumlah persisnya. Tapi ambil contoh Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Program-program bertema poverty alleviation ini merekrut dan melatih fasilitator untuk ditempatkan di ribuan desa dan kelurahan. Itu belum termasuk jumlah fasilitator untuk ribuan program community development berbagai tema yang diprakarsai lembaga swadaya masyarakat di seluruh Indonesia.

Kebutuhan fasilitator dalam jumlah besar itu menyebabkan pelatihan-pelatihan fasilitator bermunculan dan menjamur. Metode-metode partisipatif semacam participatory learning and action, participatory rural appraisal dan participatory poverty assessment diajarkan secara massal.

Harga jual fasilitator naik cepat. Dulu, menjadi fasilitator mungkin adalah kerja yang sepi dari pamrih, lebih merupakan panggilan hati. Sekarang, tengoklah iklan lowongan pekerjaan di koran. Sejak tsunami Aceh dan bencana-bencana alam lain yang menyusulnya, fasilitator menjadi sebuah profesi yang banyak dicari dan diminati. Hingga hari ini, banyak lembaga internasional memasang iklan lowongan kerja sebagai fasilitator dengan gaji menggiurkan.

Pabrikasi fasilitator dan metode-metode pemberdayaan masyarakat ini sungguh mencemaskan. Sebab yang dibutuhkan pertama kali dalam kerja-kerja pendampingan masyarakat seringkali adalah empati dan keberpihakan.

Pengalaman Dhoni membuka mata kita bahwa empati semacam itu membutuhkan lebih dari sekedar pelatihan. Empati tidak bisa ditumbuhkan hanya dengan seminggu pelatihan fasilitator. Kalaupun bisa ditumbuhkan, paling banter hanya menghasilkan empati dan keberpihakan semu. Empati dan keberpihakan yang otentik hanya bisa tumbuh manakala fasilitator live in, tinggal bersama masyarakat yang didampingi dan dibelanya. ”Bagaimana kita mau memecahkan masalah mereka jika tidak tinggal bersama mereka?”, katanya.

”Karir” kefasilitatoran Dhoni mengajarkan kepada kita bahwa yang dibutuhkan pertama kali dari seorang fasilitator bukanlah kecakapan penggunaan metode partisipatif. Kompetensi teknikal tak cukup. Yang dibutuhkan adalah kesediaan fasilitator untuk membuka hati dan mendengar sebanyak mungkin suara orang yang didampinginya. Kesediaan fasilitator untuk menganggap masyarakat miskin dan kemiskinan sebagai masalah dirinya. Kesediaan fasilitator untuk menginternalisasi proses pendampingan dan pembelajaran bersama masyarakat sebagai bagian dari hidupnya sendiri.

About Admin

Check Also

silaken_web

Jalan Alternatif Reformasi Birokrasi

Oleh: Dwi Joko Widiyanto. Tekad pemerintah menjadikan reformasi birokrasi sebagai prioritas pembangunan mungkin hanya akan …

media_web

Bekerja Bersama Media Massa

Oleh: Dwi Joko Widiyanto.   ”Kehadiran wartawan bisa menutupi kelemahan pegiat LSM yang biasanya gagap …


Fatal error: Uncaught wfWAFStorageFileException: Unable to save temporary file for atomic writing. in /home/bumiman3/public_html/wp-content/plugins/wordfence/vendor/wordfence/wf-waf/src/lib/storage/file.php:15 Stack trace: #0 /home/bumiman3/public_html/wp-content/plugins/wordfence/vendor/wordfence/wf-waf/src/lib/storage/file.php(542): wfWAFStorageFile::atomicFilePutContents('/home/bumiman3/...', '<?php exit('Acc...') #1 [internal function]: wfWAFStorageFile->saveConfig() #2 {main} thrown in /home/bumiman3/public_html/wp-content/plugins/wordfence/vendor/wordfence/wf-waf/src/lib/storage/file.php on line 15